Jalan Gelap di Hutan Malampah

Sebuah mobil jip putih berhenti di depan kami. Saya berfikir, ini masalah. Gerimis, tengah malam, jalan pinggir hutan Agam, sekitar tahun 2003-2004

Kami berdua, saya dan kawan kuliah satu angkatan, Alfi Nofiadi sedang mendorong sepeda motor, karena kehabisan bensin. Sudah lama sekali rasanya. Tapanek benar. Baru saja bolak-balik, – Rimbo Panti, Pasaman. Sudah terlalu sore hari kami dari cagar alam itu.

Ini kali pertama kami lewat sini. Berangkat dari Padang lewat Pariaman. Cahaya minim sekali, untuk melihat gurat di telapak tangan saja sulit apalagi berjalan mendorong kendaraan . Aspal jalan hanya kadang terlihat, jika ada rcahaya tipis di balik kabut. Warna kuning dari lampu kendaraan. Itupun bisa dihitung jari , melewati jalan puluhan kilometer ini

Sebuah mobil datang dari belakang kami. Melambat dan berhenti tidak jauh di depan. Dari jip putih itu, turunlah sekitar 4 pemuda. Badannya besar-besar. Badagok. Wah, bakal berat kalau orang jahat. Rampok motor atau tukang peras.

Sepeda motor gagah itu saya pinjam. Entah kenapa saya bohong waktu meminjam. Bilangnya cuman ke Bukittinggi, padahal saya niat ke Pasaman. Kalau dibilang ke Pasaman, saudara saya yang punya motor jantan ini juga rasanya membolehkan. Ini mungkin akibatnya, kata hati saya.

Saya kode Alfi, untuk menjauh, minimalnya ada yang selamat. “Di belakang saja sedikit kawan, nanti kalau kenapa2, lari ke hutan,” bisik saya. Beliau menepis, menolak. “Ambo Basamo (bersama) kawan,” katanya. “Selamat kita satu kawan,” kata saya mendesak. “Sama saja. Basamo saja;aj. Bismilllah,” sebutnya. Susah juga sebenarnya, mana hutan mana jurang, tak terlihat jelas.

Kenapa? Tanya salah satu pemuda. Wajahnya tidak begitu jelas di dalam kabut. “Habis bensin,” saya jawab sambil mendekat. Tiga temannya bergerak – gerak, sepertinya peregangan. “Mau kemana,” tanyanya. “Padang,” jawab saya singkat. “Jauh lagi, sampai pagi manundo (mendorong),” sebut pria lain. “Iya da,” jawab saya cek kondisi sekitar, samar.

Ia mendekat, melihat sepeda motor. “Punya dinda,” katanya. “Tidak, pinjam,” jawab saya. “Minyak campur ini,” katanya. Bawa olinya, tanyanya. “Tidak tahu, perdana pakai da,” kata saya. Ia ketawa. “Bongkar mesin nanti,”

Mereka lalu sibuk. Mencari semacam slang dan plastik minuman. untuk menampung minyak dari jip itu. Susah payah lah. Lalu minyak itu dimasukan ke tangki sepeda motor. Hidup, motor bisa jalan.

Saya masih berkendara waspada, kebut cepat. Jaga jarak dengan jip. Mana tahu nanti ditabrak. Korban kadang dikasih enak dulu, menurut cerita misteri.

Kami diiringi hingga ke SPBU terdekat di Kota Bukitinggi. Sudah nambah bensin, kami berkenalan dan cerita2 sedikit. Mereka pamit. Bilang, kalau main ke Bukitinggi singgahlah ke kadai. Disitu percaya saya jadi penuh. Ucapan terimakasih tak terhingga untuk mereka

Terimakasih pemuda Bukitinggi yang baik. Keempat orang itu saya lupa namanya. Tapi saya ingat, salah satu penjual kain bal seken waktu itu. Kawan2 biasanya memanggil bos……. (Itu saya lupa). Saya hanya ingat kebaikannya, semoga mereka selalu mendapatkan rahmat NYA.

Sejak itulah. Jika ada kendaraan mogok dan kira2 butuh bantuan saya ingat kejadian ini. Walau beberapa kali saya pernah dihardik, nyaris ditampar dan dicurigai maling. Maklumlah, saya alami kewaspadaan itu juga. Dulu.

Semoga semua kebaikan menulari kita

Related posts

July 25, 2023

Tags: