Macet di Sumatera Barat, Inikah Solusinya?

Hampir tiap tahun kemacetan di sumatera barat tidak terhindari. Terutama saat libur dan paling parah libur lebaran. Kondisi ini berlangsung bertahun – tahun tidak teratasi.
Saya coba berbagi pengalaman dari hasil diskusi berbagai pihak. Terutama saat penyusunan visi dan misi kepala daerah nasrul abit – indra catri periode 2000 lalu. Nasrul Abit sebagai birokrat 20 tahun memiliki pengalaman yang panjang untuk ini dan ditambah dengan Indra Catri yang juga birokrat puluhan tahun serta pernah memimpin Kabupaten Agam. Masukan juga didapatkan dari beberapa tim yang legislatif dan catatan diskusi di pemerintahan sumbar waktu itu.Tulisan ini tidak terkait politik, namun meneruskan ide2 baik dari orang – orang.
Perlu diindentifikasi beberapa titik kemacetan yang terjadi di Sumatera Barat
- Jalur padang – Pekanbaru. Kemacetan terjadi pada daerah pasar Lubuk Alung, Pendakian Silaing, Daerah Koto Baru, Padang Lua dan Kelok Sembilan. Kemacetan terparah terjadi di daerah Koto Baru.
- Jalur Padang – Jambi. Kemacetan umumnya terjadi pada daerah Tahura dan dalam level rendah pada daerah – daerah yang jalannya sering rusak seperti di daerah Sijunjung.
- Jalur Padang – Sumatera Utara. Jalur ini jika melewati Padang Pariaman tidak terjadi kemacetan yang berarti. Kemacetan dengan kondisi ringan terjadi di daerah Duku, karena perlintasan kareta api dan Pasar Kasang, karena perubahan ukuran badan jalan.
Penyebab kemacetan. Ada beberapa hal, baik berupa bencana alam, perubahan ukuran badan jalan, tanjakan rel kareta api dan kegiatan masyarakat di pinggir jalan.
Beberapa solusi yang pernah dilakukan yaitu :
- Pembuatan jalur alternatif pada titik macet
- Sistem satu jalur dengan batasan waktu, pada tahun 2022. Yaitu Simpang Balingka (Padang Pariaman) – Simpang Padang Lua (Agam) untuk jalur dari Padang Pariaman ke Bukitinggi. Sedangkan jalur satu lagi dari Simpang Padang Lua (Agam) – Simpang Balingka melalui jalur Malalak. Solusi ini cukup baik, kekurangannya adalah melibatkan banyak personil petugas dan kemacetan parah terjadi pada daerah Padang Lua. Masyarakat sepanjang jalur juga mengeluhkan penerapan satu jalur, karena mereka harus berputar cukup panjang.
Secara teoritis kemacetan umumnya terjadi, karena perlambatan laju kendaraan. Untuk perlambatan tersebut ada beberapa sumber yaitu kondisi alam, kondisi jalan, kondisi lalu lintas dan kendaraan serta pengendara itu sendiri.
Solusi jangka panjang perlu dicarikan pemerintah provinsi Sumatera Barat. Ada beberapa hal yang dirintis waktu itu yaitu :
- Kemacetan jalur Tahura
Kemacetan terjadi karena jalan yang padat, kondisi jalan yang berliku – liku dan sering terjadinya longsor pada badan jalan.
Solusi terbaik adalah pembangunan jalan layang. Namun ini membutuhkan biaya yang besar, perizinan kehutanan dan kajian lingkungan yang cukup lama. Sumatera Barat punya pengalaman dalam pembangunan jalan kelok sembilan, yang harus dilakukan secara multiyears. Pada tahun tersebut, telah selesai Amdal, perizinan Kementerian kehutanan dan DED dari jalan layang tersebut.
- Kemacetan Koto Baru
Kemacetan ini karena banyaknya kendaraan pada satu waktu, ada aktivitas pasar yang berada di pinggir jalan, serta adanya persimpangan – persimpangan kecil yang merupakan akses masyarakat.
Solusi yang pernah dilakukan adalah, pemindahan pasar Koto Baru ke Pasar Amor namun ini belum berhasil. Pemberian pagar pembatas pada pasar, ini cukup baik, serta pemberian batas pada persimpangan sehingga masyarakat harus berputar ketika di persimpangan, ini juga tidak berlangsung baik
Solusi terbaik waktu itu adalah, pembuatan jalan layang. Namun ini mendapatkan kendala karena tanah yang berada di pinggir jalan selain punya masyarakat, juga punya PT Kareta Api. Solusi ini harus melibatkan beberapa kementerian terutama kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan dan PT Kareta Api. Beberapa masukan yang didapatkan waktu itu, belum pernah dibahas secara tuntas dengan semua pihak secara bersama-sama. Ini perlu dilakukan.
- Kemacetan Padang Lua
Kemacetan ini cukup bisa teratasi dengan penggunaan jalur alternatif di Koto Baru dan daerah Baso. Namun hal ini perlu pengembangan pada jalan – jalan alternatif yang lebih lebar dan lebih baik.
Begitulah sedikit masukan mungkin bermanfaat. Ini tentu saja perlu diskusi lanjut dan langkah – langkah yang jelas dalam program dan anggaran serta koordinasi dengan pihak – pihak terkait.(*)