Surat Satu Sachet
Ah. Hari keempat belas
hutan bakau ini kehilangan marwah. Liukannya tidak normal, kayu keras tak bersahabat. Air payau, asin tidak tawar ragu, kotor, dasar berlumpur. Ular belang, warna – warni mencoba memacu ngeri. Berawal disini, berakhir disini, mulai memuakan.
Sampan ukuran sedang dengan dua mesin, berisi 7 penumpang terombang ambing. Ini mending. Sebelumnya susah kali. Ombak di selat antara pulau Siberut dan Pagai itu tinggi, makin susah hari ini. Pusaran air, bikin Kapten sampan penuh konsentrasi. Tak berhenti setelah melewati, angin dan hujan terus mengaduk lautan. Minggir atau dihantam. Sejaman meniti di sepanjang hutan bakau, kami terhenti. Matahari turun piket. Cahaya bulan terhambat awan. Garis putih di laut, antarkan angin hingga ke tepi. Hujan penuhi sampan, lambat tapi pasti.
“Masih ada udut,” kata pria tambun berseragam polisi di ujung sampan. “Masih pak, sebatang lagi malam ini,” kata Kelana sambil membantu membakar. Mencis ini hanya satu tersisa, jadi Kelana merasa harus selalu menjaga. Asap tipis dari ronga dada, dihembus kuat.
“Kopi juga dijatah,” tambah Kelana memberikan kopi dalam cangkir berupa tutup termos. “Untunglah ada kopi hangat,” kata pria bahagia, yang baru dipindahkan ke Kabupaten Kepulauan ini.
Sebelum pergi, tadi pagi beda. Kopi masuk termos, rokok, roti tawar dibalut plastik bolak – balik. “Kamu seperti mahasiswi,” katanya tertawa jumawa. Malam ini, mambana. Usia tak dusta.
Malam ini Kelana yang jumawa. Pria yang bernama asli Andrico itu merupakan jurnalis yang ikut dalam rombongan yang akan memberikan bantuan kepada masyarakat Kepulauan mentawai. Paska tsunami 2012 lalu, masyarakat membutuhkan beberapa peralatan untuk hidup baru.
“Ada roti?,” tanya si Bapak agak rewel. “Ada pak, tapi untuk pagi, biar kuat jalan besok,”. “Kacau, iyolah,” jawabnya mengalah, ia mulai cari sandaran nyaman.
Tersandar. Pria tinggi besar, asal perbatasan Jambi bercerita tentang masa lalu bahagia dan kini terhenti, ia kena mutasi jelang berakhir masa mengabdi. Wajah putih, rahang dan mata besar, nenunjukan cukup lama tubuhnya di masa jaya dan sekarang jeda. Cerita itu tak mengantarkan tidur. Basah jadi masalah.
—-
Gimana kep? tanya Kelana kepada pria yang sibuk dengan mesin sampan. “Sudah bisa, minyak sedikit tapi senter jatuh,” sebutnya. Kita nginap disini,” kata pemuda itu. Ia minta rokok, minta ditaruh di mulut, tangannya sepertinya kena oli. Tadi saat berjuang di ombak, beberapa jeriken sudah terlempar ke laut, tali pengikatnya putus.
Malam ini akan terasa panjang, Hujan masih datang dengan ukuran sedang. Angin sudah berkurang. Cahaya bulan kadang menyeruak dibalik gelap. Nyamuk akan pasti menyerang, mereka seperti lebah pecah sarang. Belum lagi, binatang belang warna warni di pucuk pohon bakau, mana tahu terjatuh dan singgah di sampan. Bisa bikin ribut.
Kelana ingat, punya senter mini dalam daypack. Ini adalah perbekalan standar perjalanannya. “Pakai ini bisa Kep? tanya saya setelah merangkai kembali dengan batu baterai. “Cukup, bisa untuk cari rumah menginap” kata Kapten mulai ceria. Kelana makin jumawa.
Mesin dihidupkan, senter kecil mulai berperan. Ketika melihat jalur sampan, kami masuk hutan bakau,. Tengah malam mereka bertemu cahaya rumah penduduk, sampan kami sandar dekat sampan yang sudah terikat disana.
“Tidur dulu disini,” kata Kapten. Perlengkapan pribadi dibawa, barang lainnya diikat dalam kapal. Kami merapat ke rumah penduduk terdekat. Disambut ramah. Disediakan kopi, diberikan makan, tidur di tikar dalam rumah. Nyamuknya parah, Kelana tidak bisa rehat. Sleeping bag ditembusnya, mereka bergeriliya.
Mungin ada yang bisa mengusir nyamuk jahat. Pria yang hobi berpetualang itu biasanya tidak perlu lotion anti nyamuk ataupun obat anti nyamuk. Ia sudah terbiasa. Kali ini terpaksa melihat ke sekeliling ruangan yang redup, ada bungkus sachet lotion anti nyamuk di sela papan rumah. Lumayan, setelah diolesi ke leher dan telinga saya merasakan panas luar biasa. Entah apa yang terjadi.
Kelana keluar, lihat beberapa penduduk ada yang masih ngobrol. Ia meminta tolong merncari obat, lalu diantarkanlah ke semacam puskemas di ujung kampung pakai sepeda motor. Perjalanan tidak mudah, tanpa lampu jalan dan jalan beton kecil yang rusak, naik turun bukit.
Cukup lama di jalan dan lama juga membangunkan tenaga medis itu. Ia bilang hanya ada obat pereda nyeri. Kelana minum. Tidak juga bereaksi, padahal sudah cukup lama. Ketika kembali ke tempat menginap tadi waktu sudah subuh, Kelana tambah obat pereda nyeri yang biasa saya bawa. Kelana pun mandi, sabuni badan berulang kali, pastikan lotion nyamuknya tidak ada lagi. Lumayan, setelah sholat saya tertidur.
Dalam sholat ia bersyukur telah diberikan pesan dalam surat di dalam sachet lotion anti nyamuk. Bukan ombak besar yang bisa membunuh, lotion anti nyamuk bisa juga membuat celaka. Padahal untuk mengusir nyamuk bisa juga digunakan seperti body lotion, penutup kepala (sebo) dan yang terpenting semuanya sang pencipta yang punya kuasa. Badai besar, terapung – apung di laut tidak aapa – apa, kena nyamuk yang kecil luar biasa.
Rombongan tidak buru – buru berangkat, karena cuaca masih tak bersahabat. Kapten instruksikan, siang laut baru bisa diarungi. Tak apa, Kelana bisa bungkus roti, rokok, permen dan kopi untuk bekal. Mana tahu kemalaman lagi. (*)
Cerita Perjalanan Kelana Episode 2