Ibu Pejuang, Walau Dalam Gelap

Perempuan tua, berpakaian hitam sederhana, kotor penuh debu. Berdiri di pinggir jalan dekat daerah Ulak Karang, Kota .

 

Ia  berusaha menghentikan angkutan kota. Sudah ada beberapa yang lewat tak berhenti. Mereka skip, sewa ini selain kotor mungkin juga tak punya ongkos.

 

Saya kebetulan lewat, naik sepeda motor lambat. Berhenti tepat di depannya.

 

“Ke Pasar uni?,”

 

“Iya,” katanya sambil melongo.

 

“Ko ongkos,” saya berikan beberapa lembar. “Agiah anak makan dulu, baru ke Pasar,” Kata saya.

 

Ia mengangguk. Saya pinggirkan kendaraan, menunggu ia dapat angkot.

 

Belasan tahun lalu, uni ini tak begini. Senyumnya ramah, walau jarang bicara. Bersama suaminya jualan di Pasar Padang. Ia juga sering singgah ke gerobak tempat saya jualan rokok dan makanan ringan, di terminal.

 

Suaminya punya banyak kawan, ia terlihat disegani, tapi saya tidak tahu kenapa. Biasanya ia duduk, mengobrol dan menyapa beberapa orang yang lewat. Ia pergi ketika Angkot akan jalan, bangku depan sudah tersedia untuk mereka berdua.

 

Mungkin sekarang ia tak ingat lagi. Mungkin saja yang ia  ingat, hanya rasa lapar dan tangis dua bocah kecil mereka.

 

Saya pernah melihat  ia menangis meraung ketika jenazah suaminya bersimbah darah ditabrak mobil. Sejak itu lama, saya jarang sekali bertemu.

 

“Makasih,” katanya terus terpana.

 

“Lupa uni, sama awak,” kata saya. “Ndak baa, jago badan yo uni. Makan jan lupa,”.

 

Saya hentikan angkot, berikan uang selembar ke sopir.

 

‘Titip uni ka pasar da,' kata saya.

 

Selentingan saya dapat kabar, sejak suaminya meninggal, ia keliling pasar meminta – minta. Kadang terdengar ia dipakai manusia tak berotak, demi sebungkus nasi.

 

Beberapa kawan bilang, kalau ketemu uni itu kasih saja uang untuk makan ia dan anak-anaknya,  daripada ia jual badan.

 

Saya pernah temukan pagi hari, ia duduk di lantai, dalam sebuah gang  pasar. Sekitarnya kotor banyak sampah rokok dan bungkus nasi serta botol minuman.  Bentuknya berantakan, sedang makan nasi bungkus. Beberapa orang duduk, minum minuman keras dekatnya.

 

“Uni sudah makan nanti, mandilah dulu, pulang belikan nasi untuk anak,” kata saya sambil selipkan beberapa lembaran uang kertas ke tangannya.

 

Ia tetap memandang kosong, sambil genggam erat uang itu. Saya sampaikan ke beberapa pria yang dekat situ.

 

“Uni awak ko da,”.

 

Mereka diam saja melihat. Ada juga tersenyum ramah, entah apa artinya menerawang di sela pusing kena alkohol. Sudah tua, hari sudah pagi, mabuk terus.

 

Uni, seandainya Uda masih hidup. Mungkin banyak senyum ramah yang masih bisa uni tebar. Bertahanlah uni, dunia ini tidaklah mudah. (*)

November 22, 2023

Tags: , ,