Beberapa hari di Baruna Jaya IV, Pasang Buoy di Mentawai

Kapal baruna jaya iv akan merapat di Pelabuhan Teluk Bayur, padang, sumatera barat. Kapal canggih yang punya gelombang untuk melihat dasar laut. Kedatangan kapal untuk membantu peneliti Jerman memasang tiga alat Buoy (alat pendeteksi gelombang laut/tsunami) di mentawai dan aceh
Informasi itu saya dapat sekitar awal Januari tahun 2007. Untuk jadwal ini saya ingat betul, karena terkait dengan hari penting di hidup saya. Nanti di akhir tulisan kita akan tahu
Berangkatlah saya sebagai reporter Harian Padang Ekspres waktu itu, kalau tidak salah hari Sabtu. Di lokasi sudah ada ketua Ikatan Ahli Geologi indonesia (IAGI), Ade Edward. Beliau memperkenalkan dengan peneliti yang akhirnya mengajak berkeliling melihat kapal riset milik BPPT tersebut.
Buoy merupakan Alat pendekteksi yang diharapkan mampu menyelamatkan ribuan masyarakat Pesisir Sumatera Barat jika terjadi gempa 9 SR yang diperkirakan masih ada di pantahan semangko. Patahan lempeng bumi yang membentang sepanjang laut barat pulau Sumatera. Kalau di Sumbar lebih tepatnya antara pulau Sumatera dan Mentawai. Bentuk Buoy itu saya ingat seperti pendulum. sensornya di bawah laut, diapung dengan tabung yang besar dan menggunakan pemberat yang menjuntai ratusan meter di dalam laut. (tepatnya cari informasi yang resmi tentang ini)
Saya juga meminta bantuan peneliti mengirimkan dokumentasi pemasangan Buoy. Tapi saya ditawari untuk ikut meliput di kapal yang hanya berisi peneliti BPPT, Jerman dan seorang mahasiswa (saya lupa strata nya, apakah S1, S2 atau S3) dari ITB. Lama pemasangan diperkirakan 2 hari, dan lama perjalanan sekitar 3-5 hari untuk kembali ke Teluk Bayur. Saya menyanggupi.
Hal itu saya laporkan ke kantor. Koordinator liputan menyatakan setuju. Beberapa jam kemudian setelah membawa peralatan liputan dan perlengkapan pribadi, saya sudah berlayar di atas Kapal Baruna Jaya IV. Kapal sebesar itu sepi tapi tidak membosankan. Hanya ada belasan peneliti Jerman, beberapa peneliti BPPT, kru kapal. Semuanya sibuk bekerja, termasuk mahasiswa ITB tadi.
Di kapal saya hampir mengikuti semua aktivitas di atas kapal. Melihat sensor laut Baruna Jaya yang mampu mendeksi dasar laut dan benda- benda yang ada di bawahnya. Saya juga diinformasikan tentang teknis kerja dan fungsi tugas Baruna Jaya dan BPPT
Walau tidak dibolehkan terlalu dekat dengan peralatan, saya melihat dan bertanya langsung tentang alat Buoy tersebut. Malangnya peneliti Jerman itu lebih banyak berbahasa Jerman dan sedikit sekali mau bicara bahasa inggris di waktu yang mereka yang sedikit untuk bicara. Mereka sibuk instalasi alat, cek dan ricek rapat- rapat teknis.
Ketika di internet saya googling Buoy itu sepertinya kecil. Ternyata dalam kenyataan pelampungnya saja hampir seperempat lebar kapal. Rantai untuk pengait pemberat ke pelampung besarnya seperti rantai jangkar kapal besar. Di sebuah titik yang dirasa tepat, di pantai Barat pulau Sumatera. Tibalah saatnya kami menurunkan alat. Pelampung, pemberat, alat sensor disusun di dek kapal. Kapal dengan derek besar itu siap-siap menurunkan sensor yang bermanfaat untuk penyelamat warga itu.
Saya tidak boleh mendekat, karena bisa saja rantai meleset. Bisa saja kapal goyang. Saya awalnya kurang percaya, karena ingin mendapatkan dokumentasi dari dekat. Peralatan teknis yang saya pakai sudah mirip dengan peneliti, pakai helm, pelampung dan sepatu bot. Tapi ikuti saja aturan dimana saya harusnya berada. Tiba – tiba kapal oleng, badan kapal terasa terangkat sebelah. Bagian dek berisi alat itu mirip ke bawah. Hanya beberapa menit, pemberat sudah turun. Rantai melesat ke bawah, kira- kira panjangnya 500 meter. Detik ke detik turun ke laut menimbulkan bunyi bising. Menegangkan. Kapal makin terdongak. Tiba – tiba bunyi blam, pelampung besar itu mengambang di laut. Kapal kembali stabil. Saya beruntung sudah diperingatkan agar berada di tempat aman. Di tempat aman itupun terasa tidak nyaman.
Suasana kembali seperti biasa, mereka sibuk melakukan semacam testing. Setelah dirasa cukup, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapat Teknologi (BPPT)
dan peneliti Jerman itu sepertinya mereka istirahat. Saya duduk di ruangan yang sepertinya pustaka, saya baca buku- buku yang ada di sana. Kira – kira isinya teknis geologi dan lain – lain. Saya ajak bicara mahasiswa ITB yang sibuk mencari referensi dan menulis. Ia pun hanya bicara sedikit, saya pun tidak ingin menganggu. Saya nonton sambil berfikir-fikir ini akan diberitakan seperti apa kejadian tersebut?
Perjalanan kata kapten akan dilanjutkan ke pantai barat Kepulauan Mentawai. Daerah itu agak sedikit berat, jadi saya disarankan istirahat. Saya patuh dan benar ketika sampai disana, gelombang cukup besar. Ada kemungkinan pemasangan ditunda dari jadwal. Inilah mulai kepanikan saya. Hari waktu itu sudah Senin. Jumat saya akan menikah, Sabtu dan Minggu akan ada resepsi. Gawat
Hari Selasa jadinya. Pemasangan sama seperti sebelumnya. Kali ini lebih parah karena kapal juga dihantam gelombang yang baru mulai reda. Saya berdoa semoga ini lancar, agar segera balik ke Teluk Bayur. Waktu pemasangan benar- benar molor beberapa jam. Setelah pemasangan, hari Rabu mereka akhirnya memutuskan meneruskan pemasangan ke daerah Aceh dan balik ke Jakarta saya akan terbang menggunakan pesawat pada minggu depannya ke Kota Padang. Saya panik
Saya bicara dengan peneliti di sana, menyebutkan akan menikah hari Jumat. Jadi saya harus di Kota Padang pada hari Kamis, pastinya sekarang keluarga saya dan calon istri saya panik. Telefon saya tidak aktif dalam beberapa hari ini. Mereka menjelaskan untuk balik ke Teluk Bayur membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Wah makin kacau ini. Mereka serius, saya tidak bisa mengganti kerugian mereka.
Saya lobi kapten kapal, meminta rasa manusiawi nya saya harus balik di Padang hari Kamis paling lambat. Jumat pagi pukul 10 saya akan menikah. Ia melunak, hanya sekedar meminjamkan telefon satelit. Saya telfon ke rumah, orang tua saya terdengar kesal. Kalau masih di tengah laut dan balik hari Minggu akan membuat malu keluarga, pernikahan dan resepsi akan lewat. Kapten tidak bisa membantu, ia ikut jadwal peneliti.
Suasana saya tidak lagi nyaman. Saya mulai berfikir menurunkan sekoci, berenang atau menggunakan pelampung ke Kota Padang. Akankan tepat waktu di saat pernikahan?, amankah?. Saya telfon lagi Bapak Ade Edward menceritakan kisah itu, pendapatnya tetap sama saya tidak bisa balik karena alasan penelitian itu lebih penting demi keselamatan banyak orang. Saya akhirnya menyerahkan itu kepada Allah SWT. Saya berdoa khusyuk sekali. Tidur dalam doa.
Pagi-pagi sekali saya dibangunkan. Beres- beres, karena pelabuhan Teluk Bayur sudah dekat. Saya dinaikan ke kapal kecil dengan mesin besar. Hanya beberapa jam, saya sudah ada di pelabuhan Teluk Bayur. Saya tidak sempat pamit, kapten kapal kecil hanya senyum dan tertawa-tawa. Mereka doakan semoga pernikahan saya lancar. Terimakasih mereka tidak langsung ke Aceh, karena ada jemput barang dan personil di pelabuhan Teluk Bayur.
Saya segera ke kantor, menyerahkan hasil liputan foto dan berita. Setelah itu pamit, balik ke rumah untuk menenangkan orang tua dan menyiapkan pernikahan. Kapal Baruna Jaya IV, terimakasih untuk seluruh personil, peneliti BPPT dan pengalamannya. Teruslah berlayar membantu semua umat manusia.
(Catatan : Kisah ini sudah cukup lama tahun 2007 dituliskan lagi awal tahun 2001, jika ada salah akan diperbaiki)