Marlboro Adventure Team 2002. Tidak Semua Mimpi Harus Jadi
Selamat anda bisa mengikuti seleksi Marlboro Adventure Team di Jawa Timur. Siapkan diri anda, lengkapi persyaratan. Kami tunggu kedatangannya
Begitulah potongan suara telefon, dari seberang sana. Pagi – pagi sekali mereka memberi kabar baik
Alhamdulillah. Malam sebelumnya saya sudah ikhlas. Sudah segala daya dicoba, sudah semua kepandaian dipakai. Undangan itu tidak ada. Hari seleksi juga sudah tinggal beberapa hari lagi
———
Diberikan Mimpi (Part 1)
Bagi kami, sebagian kawan-kawan saya petualangan alam bebas di berbagai belahan bumi adalah mimpi tiap pagi. Berpetualang di Amerika juga mimpi yang harus dibeli
Untung saja, perusahaan rokok Marlboro waktu itu sekitar tahun 2002 ngadaian seleksi. Marlboro Adventure Team nama kegiatannya. Lokasinya di Grand Canyon. Maka berpaculah. Semua data di isi, semua seleksi dikuti, semua syarat harus dipenuhi. Biar mimpi itu dibayari. Gratis, ibarat perang yang patut dimenangkan
Seleksi pertama tentu saja pengetahuan tentang alam bebas, ditanya sejauh mana keinginan berpetualang dan kemampuan yang dimiliki. Ini isi kuisioner. Seleksi berikutnya bahasa inggris praktis by phone, ini bisa juga ada jalannya. Terimakasih da Alfa
Lama menunggu. Jadwal seleksi fisik dan kemampuan alam bebas di Surabaya tinggal beberapa hari lagi. Satu persatu teman-teman sudah dapat undangan. Ada 3 orang, Jupe, Dewi dan Ade. Saya tahu karena mereka juga anggota Mapala Unand. Ada juga kabar 2 orang lagi sudah dapat tiket. Parah rasanya. Betul juga lirik lagu Iwan Fals. Keinginan itu sumber penderitaan. Kabarnya ribuan orang di Indonesia ikuti iven itu, ndak ada nama awak tu?
Harapannya saya terus menipis. Kalaupun diundang, rumit juga melengkapi diri. Malamnya saya pasrahkan diri, berdoa. Jika rezeki saya datangkanlah ya Allah, jika tidak ikhlaskanlah. Tuhan mengabulkan doa hambanya, besok paginya telfon berdering. Tandri Eka Putra, anda diundang, segera siapkan diri. Yaaaa
Energi kembali terisi. Siang itu sepulang kuliah, saya izin kuliah praktikum. Saya minta saran mas Baron dan Pak Box, beliau berpengalaman seleksi itu
Latihan fisik dimulai. Berlari lama dan panjang sekali rutenya. Semua otot harus dipaksa. Pull up, squad jam, berenang, naik turun tangga, dll. Otot badan memerah, rasa terbakar. Sore harinya saya berhenti memaksa badan. Malam, lanjut latihan bawa mobil off road. Mobil Jimmi Katana, bg Kampret jadi modal latihan. Disitu saya diajari, ganti 2WD ke 4WD.
Habis itu saya minum dan makan makanan bergizi. Susu sachet saya minum habis, tidak diparo2 untuk besok. Makannya nasi dengan telur ayam, digoreng ala matang sapi, pakai sayur. Biasanya telur satu itu kami keroyok, dibanjiri kuah tambah air, dimakan ramai2. Hahaha
Pagi H-1 sebelum berangkat melengkapi syarat yang kurang. Surat keterangan sehat dari rumah sakit dan SIM bawa mobil. Mana waktunya sempit, urusan yang yg sulit bagi saya. Paling parah tak ada duit. Wah…. tiket ditanggung dulu di awal. Mati lah awak… ndak ka mungkin tiket 2 kali naik pesawat. Tambah ongkos bis ke Puslatpur Marinir, di Baluran, Jawa Timur dari Bandara Surabaya. Saya ingat doanya hanya sampai dapat undangan. Inilah mungkin akhir yang kedua. Ikhlas lagi? Berat.. berat
——
Harga Impian (Part 2)
Surat kesehatan dan SIM mobil akhirnya didapatkan. Banyak yg bantu mencari jalannya. Buat surat, bawa potongan berita. Terimakasih da Al dan bg Ryan
Soal duit ongkos ini pelik. Saya pulang, ceritakan pada Bapak panjang lebar. Beliau tanya, apakah itu adalah penipuan telfon, yg marak terjadi. Saya jelaskan lagi, ikut seleksi, sudah konfirm ke kantor Marlboro di daerah Sawahan waktu itu, dua orang senior sudah pernah ikut. Kami ada empat dari Sumbar dan uang diganti. Beliau bilang, tidak ada uang sebanyak itu. Saya paham, pamit dan pergi dan berfikir kemana cari pitis?
Bertemu beberapa orang, minta dicarikan solusi. Banyak dapat, namun tidak bisa dijalani dengan waktu yg tersisa. Ada beberapa nyumbang, jumlahnya masih sedikit. Jauh sekali untuk besok pagi. Dikembalikan, ditolak mereka ikhlas.
Senja hari. Ade bawa kabar baik. Kakak Ade, Bg Jer John Edward Rhony bantu. booking tiket lewat sebuah perusahaan travel. Bayarnya pas pulang seleksi, ketika duit diganti. Plong benar…tinggal cari ongkos bis dan makan di jalan
Malam harinya bapak dan ibu datang, boncengan dengan vespa, bawa uang untuk tiket serta jajan di jalan. Pesan mereka segera ganti, itu pinjaman ke orang. Saya cium tangan mereka berdua dan minta doa
Subuh. Kami naik pesawat Garuda Indonesia. Dua kali. Jakarta sampai Surabaya malam hari. Kami dikasih selimut, makanan dan cemilan. Minum tiap sebentar boleh diminta. Awalnya saya ragu, pas dibilang tidak perlu bayar lagi. Oke deh…Di Bandara Juanda, dijemput sama kakanda, Marwandi. Beliau ajak makan malam dan keliling Surabaya. Pagi kami ke graha pena Jawapos, ada sesi wawancara. Lanjut silahturahmi ke beberapa mapala di Surabaya. Siangnya kami diantarkan naik bus ke Baluran, Jawa Timur.
Malam harinya bus berhenti di penjagaan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Marinir. Beberapa tentara dan panitia berjaga. Diperiksa barang bawaan, di cek seluruh tubuh. Jalan kaki ke dalam
Ada beberapa penjagaan disana. Setiap penjagaan tetap diperiksa. Terakhir jalan jongkok, sampai ke asrama. Barak besar, tempat tidur pakai tandu lipat. Disuruh baca aturan, lalu istirahat. Kami terlelap pulas, empuk benar tandu malam itu
Subuh, sirene dan dentuman bom sudah terdengar. Puluhan orang berbadan tegap berbaris rapi berlari, bernyanyi lagu2 semangat. Kami mandi di kamar mandi barak, makan ramai2 dan dikumpulkan sesuai jadwal. Ada proses administrasi termasuk perjanjian darah. “Jika berdarah,
cacat atau mati dalam seleksi, tidak akan menuntut apa dan siapa”. Disuruh berfikir sebentar, sebelum tandatangan di atas materai. Proses administrasi dan pembagian peralatan serta technical meeting berlangsung seharian. Pesertanya ada seratusan, background macam2. Itulah lawan tanding. Keren lah
Istirahat lah. Besok adalah neraka, kata salah satu panitia mengumumkan waktu tidur….
Berakit ke Tengah Berenang ke Tepi (Part 3)
Hari ini seleksinya untuk pribadi dan kerjasama tim. Di sebuah teluk. Buat rakit ke kapal perang di tengah lautan. Berenang ke tepian pada sisi lainnya. Lanjut lari 10 KM, sampai titik tujuan.
Ombaknya keren. Selat madura, beriak besar. Ada beberapa tank amphibi mendampingi kapal perang. Panitia dan beberapa tentara, mengawal sepanjang jalur renang yg telah dipasangi tanda dengan bendera terapung. Kapalnya kecil dari jauh
Waktu dihitung. Pistol berbunyi, pluit ditiup. Kami gasss
Kelompok tercipta, kamI buat rakit. Kayu sudah disediakan beserta tali temali. Dayungnya tangan dan kaki, serta kayu agak pipih sisa bahan rakit tadi. Lama terombang ambing, kami terus bergerak. Puluhan rakit lain macam2 kejadiannya. Ada yg sibuk diterjang ombak, terapung2 tak bergerak, dibuai gelombang dan riak. Bahkan ada rakit yang pecah, lepas tali dan penumpangnya tumpah
Kapal itu makin membesar. Besar sekali, gimana cara naiknya? Rupanya di satu sisi ada tangga tali, rakit kami ikat lalu naik. Tangga tak bersahabat, ikut goyangan kapal. Lambung kapal itu tak datar, kita harus cepat dan mendongak ke atas. Sampai di atas, panitia bertanya. “Masih sanggup?. Ya lompat ,” katanya
Macam2 gaya dan teriakan terdengar. Aaaa…. Lalu tolong2.. ada yang diam saja, sampai bawah tetap teriak tolong…. Ada yang ragu2 lompat tidak. Akhirnya tidak, nyerah. Banyak yang lompat hepi2 saja. Saya lompat, langsung dihantam riak besar berkali kali. Air masuk mulut dan hidung banyak sekali. Tank amphibi juga saya lihat terapung goyang2, dekat sekali. Kaki perih rasanya, mata hanya melihat biru kelam, saya angkat tangan kiri sekali, takut pingsan dan tenggalam. Untung tim penyelamat tidak melihat. Lagi sibuk, banyak yang ditarik naik ke perahu karet
Kaki saya regangkan, rasanya aman. Equalizing, air keluar. Mata mulai lihat suasana sekeliling, saatnya berenanglah terus ke tepian. Tiang bendera tujuan seperti begeser2, berenang sambil terseret gelombang. Susah benar. Tapi lebih ringan dibandingkan pakai rakit. Akhirnya sampai juga. Ditanya lagi. “Masih sanggup? Bersiap untuk ambil waktu lari”
Saya pasang sepatu dan kaos oblong yang sudah dibungkus plastik dari tadi. Saya ambil minunan botol kecil . Siang itu terang benderang. Padang savana seakan riang gembira memancarkan cahaya. 1 Kilometer pertama, panas mambana.
Rumput besar kering menggelinding seperti bola. Ada tulisan “Waspada banteng liar”. Ada beberapa hewan berteduh di kejauhan. Tak lama ada plang “Disini banyak hewan buas, tolong perhatikan kiri kanan jalan,”. Sudah beberapa km, panas masih bertahan. Mental juga dag dig dug
Satu peserta berbadan besar, rebah di depan saya. Awalnya saya kira beruang, badannya besar. Ia tidak pakai baju dan sepatu. Mungkin lupa, tidak terbawa atau merasa bisa. Entalah. Ada juga yg terduduk di jalan, nafasnya keras, matanya memelas. Tim penyelamat langsung merawat. Ada yg dibonceng dengan motor, ada yang ditandu ke atas ke mobil
Beberapa orang makin melambat, saya izin duluan. Beberapa titik pembagian air dan buah-buahan tersedia. Saya ambil seperlunya. Selisih antar tanda penunjuk jarak makin jauh, rasanya. Mungkin kualitas tubuh menurun. Namun ada yang menggembirakan angkanya semakin mengecil, sisa 1 Km. Suasana mulai teduh, masuk hutan. Panitia menunggu di garis finish, berikan beberapa peralatan dan cek medis. Makan dan minum banyak tersedia, namun pesertanya jauh berkurang. Nasib bagus kurang jauh jumlah saingan. Hari ini, sementara bisa istirahat dengan senyuman
Orieteering dengan MTB (Part 4)
Ini lomba sesi menyenangkan. Kami dibagi beberapa kelompok. Mengikuti titik per titik yang telah ditandai di peta kontur. Tanda keberhasilan setiap titik ada bendera yang dibawa. Bekalnya, sepeda MTB, foto copy peta dan kompas prisma
Di kelompok saya, 10 orang. Hanya saya yang bisa baca peta. Tidak ada yang pernah lihat peta itu, apalagi kompas prisma. Sebagian besar, ada yang biasa main sepeda MTB, ada yang pernah mencoba dan melihat. Kami membagi kerja, saya koordinator kelompok
Jalur sepeda macam2, ada lewati bukit, susur sungai, naik turun lembah, masuk di sisi luar perkampungan.
Bagi yg belum tahu. Peta kontur itu merupakan peta rupa bumi yang memliki garis2 sepanjang titik kontur (ketinggiannya sama). Kompas prisma, merupakan penunjuk arah manual dengan titik bidik. Titik bidik itu dipergunakan untuk melihat tanda2 di titik kontur, yang ada di dunia nyata (sungai, rel kareta api, titik triangulasi) sehingga kita tahu arahnya berapa derajat dari posisi.
Hampir setiap titik kami berhasil dengan baik dan cepat. Titik terakhir ini kesalahan saya pribadi. Pada peta menunjukan garis 2 hitam putih beraturan. Itu jalur kareta api. Di pandangan mata jalurnya tampak, tapi jauh berbeda.
Saya cek tahun petanya, berbeda tahun (10-15 tahun saya lupa) dari kondisi yang ada. Menurut pengalaman di pulau Sumatera, jalur kareta api jarang berubah. Hanya sungai saja yang sering bergeser. Di pulau Jawa gimana? Semua anggota tidak tahu, saya juga.
Saya bimbang. Akhirnya sebelum ambil keputusan saya saran, bertanya kepada penduduk yang mencari kayu di pinggir hutan. Malang kali, ia bahasa Jawa murni, tidak bisa bahasa Indonesia. Kelompok saya semuanya tidak mengerti. Saya tanya jalur kareta api ini pernah berubah atau tidak, ia jawab panjang. Tapi saya tidak mengerti. Kami tanya lagi, ia jelaskan lagi. Saya juga tak mengerti
Lalu gimana? Kalau berubah kami juga tidak tahu jalur kareta api yang lama (ada dalam peta). Akhirnya kami memutuskan memakai tanda di peta sebagai patokan utama untuk menyesuaikan kondisi dan menganggap sama dengan kondisi sekarang.
Nah. Gagal lah. Faktanya jalur itu sudah berubah sangat jauh. Akhirnya kami nengetahui hal itu dari panitia. Kami selesaikan titik terakhir dengan waktu maksimal. Semua anggota tim memaafkan kesalahan itu, saya tidak. Sesi yang bikin geram.
Ini sekedar saran bagi yang main moutanineering di daerah baru nantinya. Cari informasi sebanyak2 tentang daerah itu. Pelajari peta sebelum berangkat. Kalau bisa, pelajari atau bawa orang yang mengerti bahasa lokal. Tak cukup skill, harus ada pengalaman. Saya salah disitu.
Impian Terjal (Part 5)
Malamnya sudah makan. Musik keras sekali, kami disuruh kumpul. Ada beberapa seleksi yang harus diatasi. Flying fox, terjun tali, menyeberang dengan seutas tali, panjat tebing dan lain lain. Untung ini sudah jadi latihan rutin. Saya ikuti semua, perfect.
Ada beberapa tragedi yg tak bisa diceritakan. Panitia memutuskan membatalkan sesi itu. Saya protes ke salah satu panitia. Ia jawab ini seleksi bukan lomba, kami sudah putuskan, tegasnya. Ya sudahlah padahal poin sesi itu lumayan. Tidur di tandu, rasanya tidak lagi nyaman.
Paginya kami dibawa ke lapangan tandus. Puluhan mobil jip besar sudah berbaris. Motor trabas bersanding di samping. Jalurnya alang kepalang nyaris tegak lurus, batunya besar, murah runtuh dan berpasir. Seperti cadas gunung Marapi. “Ada yang ingin pulang?. Silakan ke belakang,” kata panitia ketika beberapa orang angkat tangan
Ini bukan keahlian saya waktu itu. Tapi kapan lagi mencoba. Peserta boleh pilih jip atau motor trabas duluan. Saya mulai dari sepeda motornya. Tanya sama operator, oh ternyata gigi (transmisi) motor itu tiga. “Memangnya anda bisa ke atas sana?” Bisa jawabnya. Pakai gigi dua disana sebutnya sambil nunjuk. Gas motor stabil jangan disentak. Oo. Satu peserta bergerak cepat, gigi 1, gigi 2 dan gigi 3. Melesat, berhenti ia terjepit batu. Banyak yg bantu, ia dipapah turun. Satu lagi, senang betul. Badannya cocok, asyik kali dia seperti melompat pakai motor. Motornya terbang melayang lumayan tinggi, ia terjatuh, motor jatuh, kena helmnya. Ia dibawa pakai tandu. Sebagian lagi, melaju apik terkendali dan sempurna. Mereka layak juara
Saya coba amati jalur lagi. Sampai di giliran saya gas, gigi 1 lalu gigi 2. Itu saja. Gas dimainkan, motornya bersemangat tinggi. Digeber dikit melompat diantarkannya ke puncak, saya turun santai tapi tegang lewati bukit cadas. Ini seperti puncak Merpati di Gunung Marapi Jaga keseimbangan daripada berguling di lereng tebing . Biar pelan, namun lebih baik. Akan lebih membosankan jika badan berguling ke bawah, dan pastinya sakit walau jaket tebal. Waktunya lama, biarlah pada celaka. Finish lamban
Giliran mobil dijajal. Nunggu sebentar saya lihat salah satu peserta mobil offroad. Ia ganti gigi di tanjakan, injak kopling mobilnya mundur cepat dan berhenti di depan kami. Lah iya, tanjakannya sekitar 50 derajat. Ada yang ngebut, berkabut, terguling. Satu lagi, mobilnya pelan dan berhenti. Operator turun ganti posisi, balik lagi ke titik start. Gagal. Waktu itu tak ada yang lolos saya lihat. (Mungkin sebelumnya dan sesudahnya ada)
Gila ini. Saya tanya ke operator mobil yang akan dinaiki. “Mas ikut naik? “Iya jawabnya. Saya bilang belum pernah, pakai jip besar lewat bukit batu. Saya minta panduannya. Siap, katanya
Mobilnya kira2 sebesar mobil yang dipakai di Gunung Bromo, ban mobil lebih besar. Di atas mobil nyaman, safety. Instrumen mobil clear berfungsi. Ganti 2Wd ke 4 wd nya pakai tombol. Putaran stir ringan, ruang kabin bersih, kursinya nyaman tapi kurang tinggi. Saya minta di stel tapi tidak bisa. Operatornya tanya, gimana, lanjut atau …? Kesal saya, tapi Ayuklah…
Sepanjang jalan operator bersemangat tinggi. Ia ribut terus di atas mobil. Ganti gigi itu injak kopling, hidupkan mesinnya lagi. Tekan rem dikit. Putar kiri, banting kanan teriaknya. Tangan kanan nunjuk2, tangan kiri pegangan. Saya yang pertama kali coba jip dan trek seperti itu diam dan berusaha terkendali di jalur yang dibatasi tali
Menyusun Impian (Part 6)
Jalan masih panjang. Tidak seperti lomba offroad yang saya lihat di daerah Ulu Gaduik, Kota Padang. Biasanya trek itu basah, banyak lumpur. Tidak ini kering berbatuan
Trek sering tidak kelihatan, pandangan mata terhalang kap mesin. Mobil sering terseret ke luar trek, serempet pinggir jurang, keluar dan potong jalur. Sampai disini sudah kelewat salah.
Rasa bosan pada ketakutan dan kuatir mulai hingga di otak. Ajal rasanya sudah intip dari kejauhan. Nilainya tak lagi tujuan utama. Anggap itu tidak lagi lomba, tapi main tamiya. Operator panik apalagi saya
Saya balas teriak sama mas itu. “Diamlah mas,” kata saya. Ia marah katanya tugasnya memang itu, memandu. Mobilnya oleng, ban sering terangkat, badan si mas geser2 agar mobil stabil. Keluar bahasa jawa, kira2 artinya. “ Mati sendiri saja, jangan berdua”. Ia minta stop, saya tidak mau. (Ini karena karena saya mampu. Logikanya kalau berhenti mobilnya turun sendiri dan bisa guling2. Treknya di bukit berbatu dan berpasir). Pas ada hamparan pasir, saya minta masnya turun lompat dari mobil, ia tidak mau. “Celaka saya,” jawabnya marah. Padahal saya ingin bantu agar ia tidak lebih celaka. Saya minta hidupkan musik biar santai, ia senewen. Sakit, sampeyan katanya mendumel hingga akhir trek.
Merelakan Harapan (Part 7)
Terimakasih mas, maaf. Saya peluk, ketika turun dari mobil di garis finish. Gila!, katanya sambil coret form penilaian.Kira2 coretannya, Atitude kena, mental tidak bisa dibina. Gagal. Saya sudah kalah.
Malam penutupan.
Di lapangan terbuka, ditata apik. Banyak makanan, ada band main santai. Pengumuman 10 orang yang berhak mewakili Indonesia, dua orang rekan saya dari Sumbar terpanggil bergabung dengan beberapa orang peserta. Mereka the champion
Api kemenangan menyembur, suasana pesta makin meriah. Lagu We are the Champion, membahana. Selamat, kami bahagia. Saya juga, alat2 yg saya dapat keren2, uang pengganti dan bonusnya Alhamdulillah. Terpenting, bisa transfer segera uang pinjaman Bapak. Kami salam2. Mimpi ke Amerika cukup dulu, tidak harus jadi disini.
Terimakasih Marlboro, terimakasih Pionir Adventure, Terimakasih marinir. Terimakasih semuanya. Terimakasih banyak Mapala Unand. Terimakasih orang2 baik.
Besok kami pulang. Saya berencana keliling pulau Jawa, pulang dulu ke Jakarta, naik kereta api dari Surabaya. (***)
——
Disclaimer :
Teringat kisah ini, ketemu pigura penghargaan (foto) Dituliskan seingat saja, karena sudah lama.
Mungkin tulisan ini berguna, bagi pengejar mimpi. Pengingat diri atas jasa orang-orang baik. Nama orang lain disingkat. Akan dilengkapi dan di tag akunnya jika sudah diizinkan