Tak Mengemis Justru jadi Jutawan

Kisah Si Buta dan Ibu yang Lumpuh Masih ingat dengan perjalanan hidup Buyuang Feri (45) yang buta dan Nila (70), amai —sapaan akrab untuk ibunya— yang dimuat di , pertengahan April 2006? Ternyata, kehidupan yang dijalani dengan ikhlas, pantang menyerah dan (ini yang lebih penting dalam prinsipnya,—red) pantang untuk mengemis, justru menghadirkan ending bagaikan kisah sinetron. Keduanya, kini menjadi jutawan. Ini bukan kisah sinetron.

Di alam nyata, inilah yang terjadi. Dalam pahitnya kehidupan, ternyata masih ada anak manusia yang dijalani dengan penjiwaan tanpa mengeluh. Nila dan Buyung, tercatat sebagai warga Padangarai Kenagarin Guguk VIII Kota Kecamatan Guguk Kabupaten Limapuluh Kota.

Walau berada dalam himpitan kehidupan yang cukup berat, namun keduanya taat dengan falsafah hidup, tiada kata menyerah. Sehari-hari keduanya, hanya dengan berjalan kaki menjual sapu lidi keliling, melewati perjalanan sepanjang lebih kurang 40 km mengitari dua kabupaten dan kota. Saban hari keduanya menawarkan dagangan mereka menggunakan gerobak tarik, ke pasar-pasar di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota .

Rutinitas itu telah dijalankan ibu dan anak sejak Soeharto diangkat untuk pertama kalinya menjadi Presiden RI. Kepedihan hidup yang dirasakannya berawal dari kematian suaminya sekitar 39 tahun silam. Semula kehidupannya berkecukupan dengan empat orang anak. Kemudian tiga orang anaknya yang merupakan adik Buyung, meninggal dunia sewaktu kecil, karena berbagai penyakit kampung yang tidak kunjung dapat terobati.

Kehidupannya mulai terasa payah, tak kala pendapatan yang ia dan suaminya peroleh dari hasil pertanian, mulai digerogoti untuk biaya berobat anak-anaknya itu. Namun mereka tabah. Bak disambar petir, ketika ia tengah asik menikmati karunia Tuhan dengan anak-anaknya itu, ia harus kehilangan orang-orang yang mereka sayangi itu. Penderitaan Nila bertambah besar, tak kala suaminya meninggal dunia. Kala itu, Nila baru berumur 25 tahun. Sejak itu mulailah babak baru dalam kehidupan Nila.

Kisah Nila semakin terasa pilu, tatkala, setahun setelah kematian sang suami, Buyung anak satu-satunya yang sejak kecil diberi nama Feri, menderita penyakit campak berat. Setelah coba diobati, namun ternyata jenis penyakit campak yang dialami anak itu telah akut. Disela-sela harus mencari kebutuhan sehari-hari, Nila mesti memikirkan biaya berobat Buyung.

Akibatnya, Buyung merasakan penderitaanya yang tak henti-hentinya. Sampai ia harus mengalami kebutaan. Meskipun pahit, namun kehidupan Nila tetap berjalan terus. Nila mengajari Buyung yang merupakan anak satu-satu nya itu untuk tetap berjuang menghadapi sisa-sisa hidup. Berlatar dari usaha yang juga telah mulai dikerjakan saat sang suami masih ada, Nila mulai mengkonsentrasikan diri dengan membuat sapi lidi.

Awalnya Nila yang secara langsung mencari pohon-pohon kepala yang dapat diambil lidinya. Namun karena kronologis penyakit asam urat yang diderita Nila, menyebabkan lama kelamaan ia menderita kelumpuhan. Keduanya justru terus berjuang dan sabar dengan apa yang terjadi. Keduanya tetap bertawakal, harus tetap bekerja tanpa menyandarkan nasib kepada orang lain.

Berpantang untuk mengemis. Meski tak dapat melihat, ternyata Buyung bisa bekerja untuk menghidupi diri dan ibunya. Lalu sapu lidi tersebut mereka jual berkeliling pakan-pakan, seperti ke Limbanang, Danguang-Danguang, Kubang, serta pasar Payakumbuh. Untuk membawa sapu lidi tersebut sampai ke pasar, Nila mengikat sepuluh sampai 15 sapu dengan tali, mengangkat dengan kepalanya, dan si Buyung mengikutinya dari belakang.

Ketika Buyung bertambah dewasa, mereka berdua mengangkat sapu lidi tersebut, Buyung tetap berada di belakang ibunya ketika berjalan karena dia tidak bisa melihat. Namun tatkala usia Nila semakin beranjak tua, dia sudah tidak kuat lagi berjalan kaki menjajakan sapu lidi buatan mereka. Tidak jarang Buyung menggendong ibunya untuk sampai di pasar. Ibunya yang memandu arah jalan dari gendongan Buyuang.

Tapi, sejak sekitar 15 tahun silam, karena tidak kuat berjalan kaki, akhirnya Buyung membuat gerobak dari kayu. Dia menarik gerobak itu sementara ibunya duduk di atas gerobak sambil mengendalikan jalannya gerobak. Tidak kurang 40 km jarak yang ditempuh keduanya pulang pergi saban hari untuk menjajakan sapu lidi buatan mereka.

Tidak Pernah Berkata Capek Ketika ditemui koran ini, Nila tidak lagibisa berjalan karena kelumpuhan yang dialami sejak 15 tahun lalu. Ia hanya bisa menarik tubuhnya dengan mengandalkan kekuatan tangannya. Sisanya, tugas-tugas rumah tangga dan berjualan, dilakukan Buyung sambil mengikuti perintah Nila.

Suara Nila yang keras dan bagi yang tidak biasa melihatnya, memang terdengar pemarah. Bayangkan, mulai dari pagi hari, Buyung telah dihardik dengan cercahan perintah, agar segera melakukan sesuatu jelang berjalan menuju pasar-pasar. Mulai dari mencuci pakaian, memasak, dilakukan Buyung dengan bimbingan Nila. Bahkan sampai kepada mengangkat Nila turun rumah yang letaknya sekitar 50 centimeter dari tanah dilakukan Buyung sembari meraba-raba.

Setelah sarapan pagi dengan apa adanya, lantas Buyung mulai menarik gerobaknya dengan berjalan sesuai petunjuk ibunya itu. Tanpa mengenakan sandal dan topi penutup kepalanya, terlihat Buyung hafal dengan lubang-lubang jalan yang setiap hari dilewatinya.

Sesekali ia meneriakan sapu lidi dan sejumlah alat kebutuhan dapur lain yang ikut dijual. Puluhan kilo meter dilalui Buyung dengan menarik ibunya setiap hari. Namun itulah kekuasaan Tuhan, setiap dagangan mereka, hampir selalu habis dibeli orang lain. Bisa jadi karena rasa iba, banyak warga yang sengaja menunggu dagangan Nila, sembari membantu. Bicara harga yang ditawarkan Nila, juga tidak terlalu mahal dibandingkan dengan harga ditoko.

Sapu lidi yang diikat dengan diameter 30 centimeter itu, dijual Rp5.000, sementara pedagang harian di kedai-kedai menjual Rp4.000. Namun lebih disebabkan karena kemauan yang keras, dagangan mereka tetap habis. Menariknya, menurut Nila, walau menjalani hidup yang sangat berat itu, Buyuang tidak pernah mengeluarkan kata-kata capek. Kisah kehidupan ini, ternyata mendapat perhatian reporter Metro TV sehingga masuk acara talkshow Kick Andy. Acara tersebut kemudian menjadi jalan mengubah hidup mereka menjadi jutawan.

Buyuang Feri dan Nila diantar reporter Metro TV Amfreizer dan beberapa orang pejabat dan anggota DPRD Kabupaten Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan termasuk wartawan koran ini. Walaupun duduk di depan pejabat tinggi negara, Buyuang Feri dan Nila masih sederhana layaknya orang kampung. Nila tetap menenteng sandalnya ketika berjalan. “Licin bana, beko jatuah,” tutur Nila ketika dibimbing di kantor Metro TV.

Maklum saja selama ini Ia tidak pernah pakai alas kaki. Ketika berbincang-bicang di sela-sela acara talkshow, dengan Mufidah Jusuf Kalla dan menteri kesehatan gaya bicara mereka juga tak berubah masih sama seperti menjadi pejual sapu lidi di jalanan Payakumbuah. Masih lugu dan menjawab apa adanya dengan bahasa Minang logat Payakumbuh. “Bilo pulang kampuang, Amai?” tanya Mufidah dalam bahasa Minang.

“Tagantuang si Am jo Feri,” jawabnya. Kedua nama itu, merupakan sapaan akrab Amfreizer dan Ferizal Ridwan. Mereka memang tidak akan menyangka dalam hidupnya akan hadir dalam acara gemerlap stasiun televisi nasional tersebut. Buyung juga tidak begitu peduli, karena Ia tidak begitu jelas melihat, sedangkan ibunya tampak tak mengerti hanya diam saja. Saat itu mereka akan menerima bantuan Rp70.800.000 dari sumbangan pemirsa stasiun televisi nasional tersebut. Uang tersebut ditambahkan oleh Menteri Perindustrian Fahmi Idris menjadi Rp100 juta.

Istri Wakil Presiden, Mufidah Jusuf Kalla juga tersentuh dan langsung memberikan dana Rp 50 juta untuk mereka. “Mereka orang kampung saya, wajib bagi saya membantunya. Saya berharap kepala daerah dan tenaga kesehatan di Limapuluh Kota mampu mengurus mereka. Kalau saya lewat di sana pasti saya singgah,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca. Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari langsung meminta agar mata Buyuang Feri diperiksakan dulu di RSCM Jakarta.

“Nanti hubungi ajudan saya. Besok bawa Buyuang Feri ke dokter ahli di sana, mana tahu masih bisa diperbaiki,” jelasnya Namun sayang matanya tidak bisa lagi diperbaiki. “Urat syaraf mata Buyuang Feri telah mati ,” ucap dokter mata di RSCM. Tampaknya Buyuang Feri telah menerima takdirnya, Ia tidak mengeluhkan hal itu. “Kalau mancaliak saketek kalam jo tarang lai bisa wak ma,” ujarnya.

Dalam acara tersebut Buyuang Feri dan Nila santai saja ketika pejabat negara tersebut, menyalaminya. Ia menangis di depan panggung, ketika pembawa acara Kick Andy, Andi Noya menceritakan Buyuang Feri akan sebatang kara jika ibunya meninggal dunia. “Amai lah gaek. Jo sia wak iduiklai,” ucapnya dalam bahasa Minang sambil mengusap matanya.

Ucapannya itu terpaksa diterjemahkan ke Bahasa oleh reporter Metro TV di Amfreizer, sehingga menyentuh perasaan semua yang hadir. “Tarimo kasih banyak, Pak,” ujarnya ketika menerima map tanda penerimaan sumbangan. Setelah mendapatkan uang itu, apakah Buyung Feri dan Nila menjadi sombong? Ternyata tidak. Usai penerimaan uang ratusan juta itu, Buyuang Feri masih seperti dulu.

Ia masih saja ceplas-ceplos dan sederhana. Menggunakan HP Ferizal Ridwan, Buyuang Feri menelpon saudara bapaknya di Bandung. “Pulanglah ka kampuang lai. Beko uda agiah pitih. Uda baru dapek pitih banyak,” tuturnya melalui telepon Termasuk usai acara, panitia Hari Ibu Nasional mengundang mereka mengikuti acara tersebut di Jakarta, Desember 2006. Buyuang hanya mengangguk. “Tu ka Jakarta lo awak liak, Mai?” ungkapnya minta persetujuan ibunya.

Hal itu dijawab Amai dengan anggukan. Ketika ditanyakan orang akan diapakan uang sebanyak itu, Buyung Feri mengatakan terserah mau diapakan. “Baa Amai?,” tanyanya kepada Nila. Ibu dengan wajah penuh kerutan itu diam saja. “Bia si Am jo Feri tabuangan. Kamalo dibawok-bawok Nyo bunuah urang wak beko,” lanjutnya di kamar hotel berbintang lima tempatnya menginap. Ketika disarankan agar berumah tangga cepat, Amai tersenyum. “Lah patuik lo nyo babini mah,” jelasnya. Tiba-tiba Buyung Feri berbisik, menanyakan kondisi Ibunya yang sudah tua. “Kalau indak ado amak tu ndak bisa nyo mancaliak bini wak do,” tuturnya berbisik.

Mereka masih sederhana. Tidak begitu peduli uangnya sudah ratusan juta. Ketika ditraktir makan di hotel Bintang Lima, Nila malah memberikan uang yang terletak dalam saputangan kumalnya kepada Ferizal Ridwan. “Bayiaan samba ko ciek Feri,” ucapnya mengeluarkan uang ribuan.

Pembawa acara Kick Andy, Andi Noya yang sekaligus Pimpinan Redaksi Indonesia mengatakan, banyak hal yang bisa diambil dari kisah mereka. “Kesederhaanan, Kegigihan seorang ibu untuk merawat anaknya. Keinginan mereka tidak mau mengemis,” ucapnya di sela-sela acara.  ( Eka Putra)

tulisan ini pernah masuk kategori finalis Adiwarta tahun 2007


(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

May 25, 2009

Tags: , , , ,
  • It’s great story, penuh inspiratif. Saya waktu nonton acara itu di Kick Andy, sampai tak kuasa menahan air mata. Salut untuk Wartawan dan Reporter Metro TV yang amat jeli mencari sumber pemberitaan. Kebetulan saya sebagai salah satu Report Stringer di Metro TV untuk Kalsel, saya belum menemukan bahan berita setara itu di tempat saya.

    Salam dari http://www.imisuryaputera.co.nr