Wartawan Internasional, Nasional dan Lokal
Tiga sebutan di judul ini sering bertemu kalau ada acara besar di sebuah daerah. Mungkin ini sistem kasta tersendiri di kalangan pers indonesia.
Kondisi yang terjadi di lapangan. Wartawan internasional biasanya disematkan pada wartawan media atau kantor berita asing. Sedangkan wartawan nasional diperuntukan untuk jurnalis dari media yang levelnya nasional. Sedangkan wartawan lokal itu medianya lokal, hanya terdistribusi secara provinsi atau kota saja.
Istilah itu jadi rancu ketika media nasional memiliki “kaki” di daerah tersebut, mungkin koresponden, kontributor. Nah, tetap ada yang membuat batas, peliput nasional adalah utusan dari kantor pusat yang berada di ibukota negara. Indonesia, ya Jakarta. Malangnya kalau terjadi, kaki di daerah masuk kategori lokal
Pada media siber, sebutan media nasional, lokal dan internasional juga jadi membingungkan jika diterapkan. Bukankah media ini bisa diakses untuk seluruh dunia?. Nah tetap juga ada yang buat batasnya, jurnalis online yang dibawa dari Jakarta itulah jurnalis online nasional.
Perlakuan terhadap jurnalis dari level media oleh masyarakat, baik pemerintah, korporat maupun panitia event organizer biasanya berbeda. Jurnalis internasional, mendapatkan fasilitas dan akses yang mungkin level tertinggi. Media nasional di mirip – mirip internasional. Kalau jurnalis lokal, kalau bisa nyelip di antara fasilitasyang ada. Diduga perlakuan ini, karena pandangan level media mempengaruhi terhadap luasnya publikasi dan pembentukan opini.Bisa saja pandangan terhadap sebaran media membuat level media itu benar.
Namun tidak melulu hal itu benar – benar sekali. Padahal mungkin jurnalis dari media lokal, maupun kontributor lebih paham kondisi daerah. Bukankah nanti jika kontributor media nasional dan internasional juga bisa mengirimkan ke kantor pusat.
Apa sih beda level jurnalis tersebut?. Ini hanya berdasarkan diskusi dengan teman – teman jurnalis media lokal, tim daerah dari media nasional dan orang – orang yang akrab dengan dunia pers.
Beda itu “biasanya” terlihat jelas dari beberapa hal :
1. Penampilan ; Biasanya penampilan personil media lokal cenderung biasa – biasa saja, kadang sedikit jauh dari kesan ia seorang jurnalis. Kontra dari itu hal tersebut tidak bisa disamaratakan. Ada jurnalis internasional, seperti lokal dan ada jurnalis lokal seperti didatangkan dari Jakarta.
2. Peralatan ; Pada peralatan kadang hal ini terlihat jelas. Ketika alat liputan dikeluarkan, ada jurnalis mengeluarkan kertas lepek dari saku dengan pena yang kadang macet. kamera yang digunakan kecil jarang pakai lensa panjang. Biasanya tidak punya perekam suara. Kalau reporter tv, kadang kamera minimnya sering macet dan rusak sebagiannya. “Coba lihat hasil wawancara tadi,” kata narasumber. Wow jangan, ketahuan lcd nya rusak, memori macet tidak bisa playback, suaranya pecah. Apakah semua level jurnalis seperti itu? Mungkin fasilitas kantor dan pendapatan berpengaruh terhadap peralatan?
3. Pengetahuan ; Tidak bisa diidentikan dengan tingkat kecerdasan daya juang dan kemampuan mendapatkan berita. Umumnya ini dikembalikan kepada pribadi seorang jurnalis menghadapi kondisi liputan. Walau ada sejuta alasan, seperti tugas yang banyak, waktu belajar yang kurang. Namun carilah satu alasan, agar kita bisa lebih mengetahui apa yang akan kita liput. Kadang kita senyum – senyum sendiri jika ada pertanyaan yang unik. “Coba ceritakan kegiatan tadi pak, dari awal dan akhir,” kata reporter itu usai acara. Padahal ia sudah dapatkan kertas pers release dan sudah berada disana sejak awal kegiatan. Ada pula pertanyaannya ngemesin dan bikin “ifil”. “Gimana pak?”, lalu narasumber tanya lagi “Gimana apanya,”. Ya itu pak. “Itu apa?”. Ndeh ngertilah pak……..(*. Kapan – kapan kita berbicara lah soal pertanyaan – pertanyaan nyeleneh ini)
4. Kemampuan komunikasi ; Suatu saat narasumber penting dari ke daerah. Ia seorang pangeran di negara “kerajaan”. Bergegaslah jurnalis berbagai elemen, rebutan ingin dapatkan informasi hebat itu. Sang pangeran terkejut, namun cepat tanggap. Waktunya terbatas, hendak segera pergi dari transit. Turun dari kapal, berdiri ia di dermaga, dan siap untuk diwancarainya. Pada saatnya itulah, belasan jurnalis berkumpul lalu saling melihat. “Siapa yang bertanya, tentang apa,”. Terpatah – patah seseorang bersuara sepertinya bertanya, parahnya pangeran menjawab panjang – panjang betul. Adalah sekitar setengah jam. Usai itu bubar, lalu kumpul lagi,berikut saling tanya. Ia bicara apa?…………Bahasa inggris yang terbatas dipersulit karena sang narasumber menggunakan logat ala negaranya…pusing barbie…………
5. Pitback (Feedback) ; Membingungkan juga untuk ngurusin jurnalis yang banyak. Ragamnya banyak juga. Kata penyelenggara, ngundang media terbatas. Kata mereka itu, tidak ada biaya promosi di media. Pemegang keputusan bilang, uang operasional bukan untuk jurnalis. Tidak ada komputer untuk mengirim berita, tidak ada wifi untuk akses internet. No makan, no air minum. Tiba informasinya begitu – begitu, bukan kabar baik…….Jika ada yang jurnalis, protes, mogok, marah. Mungkin ini juga tidak dipersembahkan untuk level jurnalis tertentu saja.
*. Tulisan ini tidak ditujukan untuk siapa – siapa. Hanya sekedar terlintas di benak, terpikir mungkin bisa jadi bahan pikir – pikir terutama untuk pribadi penulis. Kalau berguna pakai saja, kalau kurang tambahkan untuk diri sendiri, kalau merasa jangan marah, kalau tidak setuju jangan menghakimi. Sudahlah………
//