Jurnalis, Profesi dan Profesionalitas
Saya hadir di sebuah acara yang mana banyak wartawan, humas dan Pejabat pemberita informasi berkumpul, dalam satu ruangan. Ruangan besar di aula hotel, dalam sebuah acara besar di sumatera barat
Emtah kenapa, dari penampilannya saya merasakan (rata-rata) humas tampil keren. Seragam mereka kinclong, baru. Pakaian mereka rapi, baju dengan atribut jelas, lengkap dengan korkade tergantung di leher. Alat liputannya bagus-bagus. Lensa tele alah liputan sepakbola, panjang dan mantap.
Saya wartawan. Saya pakai baju batik, karena ditugaskan panitia untuk menyerahkan hadiah ke pemenang lomba tulisan.
Namun keseharian saya masih merasa kalah keren. Saya merasakan ini, sudah cukup lama. Bahkan pendidikan mereka juga sudah banyak S2 dan S3, bahkan beberapa di antaranya merupakan orang yang sangat berpengalaman di media, sebelumnya senior di profesi jurnalistik.
Saya apresiasi, pimpinan dan negara memberikan atensi yang cukup untuk kawan2 di humas atau pemberi informasi di sebuah lembaga. Namun saya cemburu, negara mengapa tidak memberikan itu kepada wartawan?
Bukankah kerja dan profesionalitas ini melekat pada jurnalis. Perusahaan swasta, perusahaan media, dipaksa mencari dan melengkapi diri sendiri. Terseok-seok dengan kur iklan dan kerjasama yang terus ditekan. Digerus dengan begitu banyak platform. Diingatkan harus terus berinovasi menyesuaikan kondisi. Itu sulit bor!….Bandingkan humas menganggarkan peralatan, apapun bisa, negara kasih dana dan fasilitas.
Wartawan diberikan kode etik, aturan2 yang makin sempit. Tekanan kanan kiri jika menkritik, kerjasama diputus kadang preman diutus.
Negara pedulilah, jurnalis itu sebuah profesi, sebuah peran, patutlah ada batas yang jelas, ada keberpihakan.
Tulisan ini sebuah kekuatiran yang patut disuarakan. Kalau tidak saya yang menyuarakan, pasti jurnalis lain. Agar profesi jurnalis tidak hanya lagi simbol belaka. Negara tegaskan posisi kami dimana….
Wartawan Utama